Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia
dalam mengatasi krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998
diakui telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup signifikan. Selama
tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan kisaran antara 4 –
5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya peran investasi dan
ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan yang
signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada
tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan)
mengalami penurunan dari 14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada
tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata
uang rupiah terhadap dollar, dimana pada periode krisis (1998) Upaya-upaya yang
dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda
perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia
telah tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama
disebabkan menguatnya peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi
lainnya juga menunjukkan perbaikan yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan
mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada
tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari 14,5 persen pada
tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari
nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada
periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007
(Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai tahun)
Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan,
berbagai perbaikan pada indikator makroekonomi tersebut ternyata belum
memberikan dampak yang menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal
ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut
maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08
persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun 2007.
Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81
juta pada tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada
tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).
Pasar kerja di Indonesia – sebagaimana
karakteristik umumnya negara sedang berkembang – bersifat dualistik. Lapangan
kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit
dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja
yang besar, berjalan secara bersamaan dalam
perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja
yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor
modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap
pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan
kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan
produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga
mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan
lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional. Oleh karenanya, persoalan
ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya perluasan
kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus
tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif
dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari
sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga
menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras,
maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin
keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja.
Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja
di Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja. Diawali dengan pembahasan mengenai trade-off antara perlindungan
tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Dilanjutkan dengan analisis
mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU No. 13 Tahun 2003.
Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan kebijakan
ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja.
II. TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan
pada kenyataan bahwa setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam
maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat
kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja (labor
market risks) yang utama adalah:
- Risiko
kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat
terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun
karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara
langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
- Risiko
kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada
penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi
baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.
- Risiko
penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah
penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej
ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena
pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan
upah nominal.
- Risiko
usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja
adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika
kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi
pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang
pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.
5. Risiko-risiko tersebut dapat bersifat
individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja. Munculnya risiko-risiko
tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro perusahaan
ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh
karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk
meminimalkan dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap
kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
6. Secara garis besar, kebijakan
perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam pengaturan hubungan pekerjaan
(employment relations) dan penyediaan jaminan sosial (social
security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya
mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan
pemberi kerja, mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri
dari tabungan wajib hari tua (provident fund), asuransi kesehatan (health
insurance), asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau asuransi
kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan hubungan
kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain.
7. Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat
kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi pengaturan hubungan kerja
maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya atau sebagian besar oleh
pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja
penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor
costs).
8. Sebagai akibat dari hal ini, apabila
kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka dapat timbul dampak
negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya
total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan
(disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja,
kebijakan pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan
untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan
kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja.
Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa
kebijakan perlindungan tenaga kerja yang berlebihan dapat berdampak negatif
terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di negara-negara Eropa Barat,
penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif tinggi
(generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh,
kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada
pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak
ini terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau
pekerja seks komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk
merekrut pekerja yang bukan anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di
Australia menyebabkan pasar kerja di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik
sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala
makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara
banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan
kerja dan kenaikan upah riil.
Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja
perlu didasarkan pada kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan
memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan menanggung biaya kebijakan
yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Di
samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang
dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja
sektor formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal)
oleh kebijakan tersebut.
III. ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU
No. 13 Tahun 2003)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait
dengan perlindungan tenaga kerja dan
perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon,
ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam
kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan
pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu
komponen/kebijakan pengupahan adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah
minimum bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak
terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi
dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah
berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat karya,
yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat
berkurangnya aktivitas produksi.
Kenaikan upah minimum yang terlalu cepat ini selain
berdampak negatif terhadap prospek pekerja memperoleh pekerjaan di sektor
formal, juga menyebabkan tingkat pengangguran terbuka menjadi lebih tinggi,
terutama di kalangan angkatan kerja usia muda. Studi SMERU (2002) tentang upah
minimum menunjukkan bahwa
kenaikan upah minimum selama periode 1990 hingga 1999
tidak mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja laki- laki dewasa, pekerja
berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya, kenaikan upah minimum
tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja perempuan, pekerja usia
muda dan pekerja kurang terdidik (yaitu mereka yang berpendidikan dasar atau
lebih rendah). Studi SMERU menunjukkan bahwa secara rata–rata, kenaikan upah
minimum riil sebesar 20%, sebagaimana terjadi di beberapa daerah pada tahun
2002, menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah
perkotaan sebesar 2%, lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja
usia muda berkurang masing-masing sebesar 6%, dan bagi pekerja kurang terdidik
sebesar 4%. Kenaikan upah minimum memberikan dampak yang lebih besar terhadap
lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah
mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di pasar kerja.
Kenaikan upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di
seluruh Indonesia disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan
upah minimum diantaranya, ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan
hidup minimum atau KHM, penetapan indeks secara kurang hati- hati sej ak
diberlakukannya otonomi daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana
menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan rendahnya
partisipasi para stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah.
Proses penetapan upah minimum menjadi semakin rumit sejak penyerahan kewenangan
penetapan upah minimum kepada pemerintah daerah di era otonomi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang
pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat
dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan
jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan
kenaikan upah minimum selama periode 1990 hingga 1999
tidak mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja laki- laki dewasa, pekerja
berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya, kenaikan upah minimum
tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja perempuan, pekerja usia
muda dan pekerja kurang terdidik (yaitu mereka yang berpendidikan dasar atau
lebih rendah). Studi SMERU menunjukkan bahwa secara rata–rata, kenaikan upah
minimum riil sebesar 20%, sebagaimana terjadi di beberapa daerah pada tahun
2002, menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah
perkotaan sebesar 2%, lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja
usia muda berkurang masing-masing sebesar 6%, dan bagi pekerja kurang terdidik
sebesar 4%. Kenaikan upah minimum memberikan dampak yang lebih besar terhadap
lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah
mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di pasar kerja.
Kenaikan upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di
seluruh Indonesia disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan
upah minimum diantaranya, ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan
hidup minimum atau KHM, penetapan indeks secara kurang hati- hati sej ak
diberlakukannya otonomi daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana
menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan rendahnya partisipasi
para stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah. Proses penetapan
upah minimum menjadi semakin rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah
minimum kepada pemerintah daerah di era otonomi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK
dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK
hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal
151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan
penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya
(pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang
diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.
Aturan PHK yang diberlakukan pada UU ini telah
mempersulit dan menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan untuk memberhentikan
pekerja karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib diajukan kepada
pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat kewenangan manajemen dalam
memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan.
Undang-Undang Ketenagakerjaan hendaknya memberikan
kewenangan kepada manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan,
tergantung pada pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang
menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang
memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian
perselisihan industrial. Sekalipun dalam UU Ketenagakerjaan keputusan
dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang jelas, persetujuan terlebih
dahulu untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan
internasional dan tidak diatur oleh sebagian besar undang- undang
ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih dahulu hendaknya hanya diwajibkan
oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan pemecatan seperti
misalnya pengurus serikat pekerja.
Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima (pasal 156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya
uang pesangon/penghargaan tersebut.
Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib
pemberi kerja membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada
pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran
berat (misalnya, pencurian atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun,
pengusaha diwajibkan membayar “uang pisah” kepada pekerja yang mengundurkan
diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya
ditetapkan melalui proses perundingan bersama.
Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang
penghargaan masa kerja, Widianto (2006) mengemukakan UU ini telah menaikkan
tingkat uang pesangon sebesar antara 19% sampai 63% bagi pekerja yang masa
kerjanya mencapai lima tahun atau lebih. Tingkat uang pesangon yang baru
tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk pesangon yang
diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena pengurangan karyawan .
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait
dengan ketentuan pesangon ini:
- Biaya
pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan
peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum
yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi
pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran
ringan pada setiap waktu tertentu.
- Diberlakukannya
uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di bidang
ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang pesangon secara lump
sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan
karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan
dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di
sektor modern dalam jangka panjang.
- Uang
pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan. Hal
ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya, perusahaan akan
cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya, walaupun
mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda karena biaya
yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal.
Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi
menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.
- Mengaitkan
uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif pemberi kerja
untuk berinvestasi dalam SDM (human capital) terutama jika keahlian
yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah bahwa
pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti
pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan sehingga
dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi
bagi pekerjanya.
- Besarnya
uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena
kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan pembayaran
uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat
daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak
produktif lagi.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b.
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d.
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan
penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan
pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing),
dan perekrutan tenaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya
untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan
bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam
konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; (pasal 64 – 66)
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor
modern. Meskipun demikian, bila ketentuan-ketentuan UU tersebut
diimplementasikan secara kaku, ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat
sebagian angkatan kerja untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor modern.
Selain itu, pekerja kontrak memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk cuti
libur yang dibayar, cuti sakit, tidak termasuk dalam program pensiun, dan
kurang memperoleh akses untuk pelatihan. Meskipun, pekerja kontrak biasanya
terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap, tetapi hal
ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.
Dalam kaitannya dengan lembaga outsourcing, lebih jauh
Nugroho (2004), mengemukakan bahwa lembaga outsourcing akan mengaburkan
hubungan industrial. Terutama adanya ketidakjelasan status antara lembaga
penyalur dengan perusahaan ketika terjadi perselisihan hubungan industrial.
Posisi tawar buruh akan menjadi semakin lemah, sedangkan di pihak lain posisi
perusahaan dan lembaga penyalur/outsourcing akan semakin kuat. Ini akan
menciptakan hubungan yang subordinatif terhadap pekerja
Waktu Kerja
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76
dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun
dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya
pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan
waktu kerja 7 (tujuh) jam 1
(satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
melebihi waktu kerja berkewajiban membayar upah lembur, tetapi harus memenuhi
syarat : a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja
lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan
14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu (pasal 78).
Aturan mengenai waktu kerja ini, secara
eksplisit memberikan keterbatasan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja sesuai
dengan kebutuhan produksi. Meskipun, misalnya karena kekurangan bahan baku,
perusahaan hanya membutuhkan masing-masing pekerja untuk bekerja kurang dari 40
jam seminggu, tetapi perusahaan harus tetap mempekerjakan pekerja dalam batas
jam kerja tersebut. Demikian juga misalnya, karena peningkatan permintaan yang
mengharuskan perusahaan meningkatkan produksi, perusahaan dibatasi dengan
aturan tidak boleh mempekerjakan pekerja lembur lebih dari 3 jam perharinya.
IV. REKOMENDASI
Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, maka tulisan ini merekomendasikan beberapa poin
rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan antara tujuan perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:
- Substansi
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK, upah
minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap memperhatikan
jaminan keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak, serta struktur
pasar kerja di Indonesia, perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan
perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Terkait dengan
struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan adalah
karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor
informal yang sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah
menganggur, rendahnya kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan
70,06 persen tenaga kerja berada pada sektor informal, 31,22 persen yang
bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0 persen
berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok
marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar
kerja fleksibel merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak
degradasi pasar kerja fleksibel.
- UU NO. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dikeluarkan
pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga
kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut
belum berlaku efektif dalam menjamin pemerataan jaminan sosial.
- PP No. 31
Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera
diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui
berbagai pelatihan-pelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah,
Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki kewenangan utama
dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam
mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai
Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah
pada saat ini berada dalam kondisi “mati suri”.
- Perlunya
peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan
negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan
pekerja seperti.
- Perlunya
meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP
No. 15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja.
Namun demikian, dalam PP tersebut belum terlihat secara tegas upaya-upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas pencari kerja.
- Perlunya
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan proses
pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan
kualitas sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk
mencegah terjadinya praktek-praktek penyelewengan peraturan-peraturan yang
dapat merugikan buruh. Di sisi lain, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial
diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial dan
dapat menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha
maupun pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar